Batik printing bisa membunuh batik tradisional
SEMARANG. Ketika
membahas perkembangan batik di Jawa Tengah, khususnya kota Semarang, Eko
Haryanto langsung terdiam beberapa saat. Pengusaha Usaha Kecil Menengah
(UKM) Cinta Batik Semarangan itu kemudian mengakui, dia sedang resah atas
perkembangan batik di Semarang.
"Saat
ini banyak batik printing alias produk tekstil bermotif batik. Pelan-pelan tapi
pasti jika tidak ada proteksi pasti akan membunuh batik tradisional,"
katanya ketika berbincang dengan Tribun Jateng, Jumat (26/12). Eko menyebutkan,
dari sisi penyerapan tenaga kerja, usaha batik tradisional lebih
bermanfaat. Dia mencontohkan, usahanya yang bisa menyerap lima hingga 15
orang. Lain halnya batik printing yang hanya membutuhkan operator printer.
 Eko
menyebutkan, keadaan Kampung Batik saat ini sudah berbeda dengan zaman dahulu.
Pada 2006 hingga 2010, pengusaha Kampung Batik masih konsisten dengan batik
tradisional, baik tulis maupun cap.
Namun,
pada 2011 batik printing mulai muncul. Orang awam pasti tidak bisa membedakan
antara batik tradisional dan printing. Padahal batik tradisional nilainya
setingkat lebih tinggi.
"Jangan
sampai pengakuan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization/Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB--Red) malah
disia-siakan," keluhnya. Untuk mendapat pengakuan lebih, Eko rela merogoh
kocek jutaan rupiah untuk menguji kompetensinya beberapa waktu lalu. Ia
menceritakan prosesnya mendaftarkan diri ke Badan Sertifikasi Profesi Nasional
(BSPN) agar diuji. "Untuk pengujian tiap profesi, saya harus merogoh
kocek Rp 600 ribu," katanya.
Pendamping
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Jateng yang juga penilai kompetensi,
Riza Radianto menyebutkan, kompetensi yang dilakukan untuk UMKM batik berbeda
dengan profesi lain, yang intinya untuk wujud pengakuan terhadap para
profesional batik di Indonesia. Ia menjelaskan, dalam industri batik ada
beberapa profesi mulai dari peracik malam, pencanting, tukang cap, hingga
desainer batik. Penilaian per orang disesuaikan
keterampilannya. "Yang diuji bukan teori, melainkan kemampuan
sehari-hari. Jadi tidak masalah meskipun pembatik tidak pernah baca
tulis," ujarnya. Riza menjelaskan, di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah
punya batik. "Bayangkan jika semua industri mempunyai sertifikasi profesi,
pihak luar atau orang asing pun tidak akan memandang remeh industri
batik," katanya. Direktur Eksekutif Forum Badan Koordinasi Sertifikasi
Profesi (BKSP), Yustina menambahkan, para SDM yang sudah mengikuti uji
kompetensi akan mendapat sertifikat.
Uji
kompetensi itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2004yang
mengatur tentang Sertifikasi Profesi. "Hal ini juga akan menambah
data berapa sih tukang batik kompeten di indonesia dengan syarat sudah mengusai
bidang dua tahun," tuturnya.
Referensi
: http://kesehatan.kontan.co.id/news/batik-printing-bisa-membunuh-batik-tradisional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar