ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
“Hukum Perikatan, HAKI (Hak Atas
Kekayaan Intelektual), dan Perlindungan Konsumen”
Disusun Oleh:
Hasian
Nainggolan (23215080)
Lusiani Pratama
Putri (23215890)
Riva
Oktaviayandari (26215085)
2EB23
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
ATA 2017
HUKUM PERIKATAN
A.
DEFINISI HUKUM PERIKATAN
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”.Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti;
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli
barang.Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang.
Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah
yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang
mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk
undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’.
Dengan
demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu
disebut hubungan hukum. Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi (personal law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata , pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa
sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann
adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau
pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara
tertentu terhadap pihak yang lain, yang
berhak atas sikap yang demikian itu. Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk
melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa
Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan
kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang
telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa
pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu
suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran
kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya
suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum
perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam
perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak
melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
B.
DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.
Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan
yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata:”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a.
Perikatan terjadi karena undang-undang semata. Perikatan
yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku
III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai
hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di
atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral
dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah
wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b.
Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan
manusia.
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
C.
ASAS-ASAS
DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme. Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya
bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1.
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat
suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu
telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan
harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi
perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
D.
WANPRESTASI
DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
yang dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wanpretasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat
bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga
kategori, yakni
1.
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang
sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian Di dalam
pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa
kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
E.
HAPUSNYA
PERIKATAN
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria
sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Cara penghapusan suatu perikatan adalah
sebagai berikut :
1.
Pembaharuan Utang (Inovatie)
Novasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
Ada
tiga macam novasi yaitu :
a. Novasi
obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
b. Novasi
subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
2.
Perjumpaan Utang (Kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A.
Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B. Untuk terjadinya kompensasi
undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
·
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau Berpokok sejumlah
barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan
ialah barang yang dapat diganti.
·
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
3.
Pembebasan
Utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang.Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur.Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu.Dapat saja diadakan secara lisan.Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur.Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara
sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.Dengan
pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus.Jika pembebasan utang dilakukan
oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
: (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
4.
Musnahnya
Barang yang Terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan
memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
5.
Kebatalan
dan Pembatalan Perikatan-Perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi
berdasarkan undang-undang.
Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum.Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi.Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan,
maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi
hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut.Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku.Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan.Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.
Syarat
yang membatalkan
Yang
dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui
oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu
batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”.
Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu
dilahirkan.Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah
tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang
dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat
batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau
hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif.
Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku
surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
6.
Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
CONTOH KASUS
KASUS
SURABAYA DELTA PLAZA
;; Sewa –
Menyewa Ruangan ;;
A. Kronologis Kasus
Pada
permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan disewakan untuk
pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah
satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang
meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya itu. Salah seorang
diantara pedagang yang menerima ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin
Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas
888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah
tangga dengan nama Combi Furniture. Empat bulan berlalu Tarmin menempati
ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin membuat “Perjanjian Sewa Menyewa”
dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan
ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut
dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin bersedia membayar semua kewajibannya
pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling
lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari
untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT SDP dengan
Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal
8/8/1988.
Tetapi
perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban
Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu
sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah
dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku
karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang
diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin
akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991. Namun pengelola SDP
berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan
tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10
Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44
kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk
ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak
membayarnya. Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan
itu.Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu,
pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.
B. Konsep Hukum Perdata Tentang
Perikatan (Perjanjian)
1. Macam-macam Perikatan
Berdasarkan KHU Perdata, macam-macam perikatan diuraikan
sebagai berikut :
§ Perikatan
Bersyarat
Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian
dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Sehingga
perjanjian seperti ini akan terjadi jika syarat-syarat yang ditentukan itu
terjadi.
§ Perikatan
dengan ketetapan waktu
Suatu perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada
waktu yang ditentukan.Sehingga segala kewajiban oleh pihak yang terikat tidak
dapat ditagih sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba.
§ Perikatan
Alternatif
Suatu perikatan yang mana debitor dalam memenuhi
kewajibannyadapat memilih salah satu diantara yang telah ditentukan.
§ Perikatan
Tanggung-menanggung
Dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.
§ Perikatan
yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dimana setiap debitor hanya bertanggungjawab
sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya.
§ Perikatan
dengan ancaman hukuman
Suatu perikatan dimana seseorang untuk jaminan pelaksanaan
diwajibkan melakukan sesuatu jika perikatan itu tidak dipenuhi.
2. Berakhirnya Perikatan
Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara terhapusnya
perikatan, yaitu antara lain :
Karena pembayaran, pembaharuan hutang, penawaran pembayaran
tunai, diikuti oleh penitipan, kompensasi atau perjumpaan hutang, percampuran
hutang, pembebasan hutang, hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian,
pembatalan perjanjian, akibat berlakunya syarat pembatalan dan sudah lewat
waktu.
3. Sistem pengaturan hukum
perikatan
Sistem pengaturan hukum perikatan
adalah bersifat terbuka, artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam UU.Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 yang
berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.Dari
ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menemukan isi
perjanjian dan bebas menetukan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Dalam menentukan suatu perikatan, maka tidak boleh melakukan
perbuatan yang melawan hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang mengartikan
perbuatan melawan hukum sebagai berikut :
a. Melanggar hak orang lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang
dirumuskan dalam UU
c. Bertentangan dengan kesusilaan
d. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan
dalam masyarakat, aturan kecermatan ini menyangkut aturan-aturan yang mencegah
orang lain terjerumus dalam bahaya dan aturan-aturan yang melarang merugikan
orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentinagn sendiri.
C. Analisis kasus
Setelah pihak PT Surabaya Delta
Plaza (PT SDP) mengajak Tarmin Kusno untuk meramaikan sekaligus berjualan di
komplek pertokoan di pusat kota Surabaya, maka secara tidak langsung PT
Surabaya Delta Plaza (PT SDP) telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan
Tarmin Kusno yang dibuktikan dengan membuat perjanjian sewa-menyewa di depan
Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang
menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga dengan adanya
perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT SDP dan Tarmin Kusno mempunyai
keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Perjanjian tersebut tidak boleh
dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh
PT SDP dan Tarmin Kusno tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 1320 BW. Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan,
karena pihak PT SDP dan Tarmin Kusno dengan rela tanpa ada paksaan
menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT SDP yang
dibuktikan dihadapan Notaris.
Namun pada
kenyataannya, Tarmin Kusno tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar
semua kewajibannya kepada PT SDP, dia tidak pernah peduli walaupun tagihan demi
tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi keras untuk tidak
membayarnya. Maka dari sini Tarmin Kusno bisa dinyatakan sebagai pihak
yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT SDP
setempat melakukan penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Tamrin
Kusno di Pengadilan Negeri Surabaya.Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang
yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT SDP bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa : Dalam pada itu si piutang
adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat
berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim
untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si
berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga
jika ada alasan untuk itu.Dari pasal diatas, maka pihak PT SDP bisa menuntut
kepada Tarmin Kusno yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai
denda untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT Surabaya Delta Plaza.
HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL (HAKI)
A.
PENGERTIAN
HAKI
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan
padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right.Kata “intelektual”
tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya
pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO,
1988:3).
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau
sekelompok orang atas karya ciptanya.Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta,
Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian
dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan
hak cipta).Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi,
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang
tidak mempunyai bentuk tertentu.
Terdapat
tiga jenis benda yang dapat dijadikan kekayaan atau hak milik, yaitu :
1. Benda bergerak, seperti emas, perak,
kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekominukasi dan informasi, dan
sebagainya;
2. Benda tidak bergerak, seperti tanah,
rumah, toko, dan pabrik;
3. Benda tidak berwujud, seperti paten,
merek, dan hak cipta.
B.
PRINSIP
– PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip – prinsip Hak Kekayaan
Intelektual :
1. Prinsip Ekonomi.
Prinsip
ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya
pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
2. Prinsip Keadilan.
Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
3. Prinsip Kebudayaan.
Prinsip
kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
meningkatkan kehidupan manusia
4. Prinsip Sosial.
Prinsip
sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
C.
KLASIFIKASI
HAK KEKAYAAN INETELEKTUAL
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan
intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta (copyright ) , dan
hak kekayaan industri (industrial property right).Hak kekayaan industry (
industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang
milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.Hak kekayaan
industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris
mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen
pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
1.
Paten
2.
Merek
3.
Varietas
tanaman
4.
Rahasia
dagang
5.
Desain
industry
6.
Desain
tata letak sirkuit terpadu
D.
DASAR
HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
·
UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
29)
E.
HAK CIPTA
Hak Cipta adalah hak khusus bagi
pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya Termasuk ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan
seni.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)Hak cipta diberikan
terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan
kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta,
yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya
lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan
atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum HAK CIPTA :
·
UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
29)
F.
HAK PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
·
Paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
·
Hak
khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang
teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya
(Pasal 1 Undang-undang Paten).
·
Paten
diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang
diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten
sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki
syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
·
Paten
hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru)
di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuanadalah kegiatan
pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
1.
proses;
2.
hasil
produksi;
3.
penyempurnaan
dan pengembangan proses;
4.
penyempurnaan
dan pengembangan hasil produksi
Dasar Hukum HAK PATEN :
·
UU
Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
·
UU
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
·
UU
Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
G.
HAK MERK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-
huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk
(barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar
perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Istilah – Istilah Merk :
§ Merek dagang adalah merek yang digunakan
pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.
§ Merek jasa yaitu merek yang digunakan
pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
§ Merek kolektif adalah merek yang digunakan
pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan
barang atau jasa sejenis lainnya.
§ Hak atas merek adalah hak khusus yang
diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi
izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk menggunakannya.
Dasar Hukum HAK MERK :
·
UU
Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
·
UU
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
·
UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
H.
DESAIN INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri :
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk,
konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau
gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang
memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas
industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
Desain Industri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2000 Tentang Desain Industri :
“Desain Industri adalah suatu kreasi
tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan
warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi
yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau
dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri, atau kerajinan tangan.” (Pasal 1 Ayat 1).
I.
DESAIN
TATA LETAK SIRKUIT TERPADU
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu :
“Desain Tata Letak adalah kreasi
berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya
satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua
interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut
dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.” (Pasal 1 Ayat 2).
“Sirkuit Terpadu adalah suatu produk
dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen
dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang
sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam
sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi
elektronik.” (Pasal
1 Ayat 1).
J.
RAHASIA
DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia
Dagang :
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh
umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena
berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia
Dagang.
CONTOH KASUS
Kasus HAKI yang satu ini adalah sebuah tanya jawab dari
seorang yang meragukan tentang nama merk dagang salah satu usahanya yang saya
ambil dari internet.
Question
:
apakah kemiripan nama dari KEBAB TURKI BABA RAFI ada
kemiripan nama dengan KEBAB TURKI ABAHANIF dan bisa dituntut secara
hukum?setahu saya yang bisa dituntut secara hukum karena ada kesamaan nama,
kemiripan pengucapan/frase, dan bukan kesamaan/kemiripan sebagian kata.karena
yang dipetenkan adalah satu kalimat bukan perkata
Answer:
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 telah memberikan arahan yang
jelas bagi Ditjen HaKI Departemen Hukum dan HAM agar menolak permohonan
pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya.
Yang
dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan adanya
unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain.
Unsur-unsur yang menonjol pada kedua merek itu dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan tentang: (i) bentuk; (ii) cara penempatan; (iii) cara penulisan; (iV)
kombinasi antara unsur-unsur atau persamaan bunyi ucapan.
Kami tidak bisa memastikan apakah Kebab Turki Baba Rafi
memiliki persamaan pada pokoknya dengan Kebab Turki Abahanif.Untuk memastikan
itu, konsultasikan ke konsultan HaKI.Yang bisa memastikan adalah pengadilan
jika terjadi sengketa.
Namun
demikian kami ingin memberikan dua contoh sebagai perbandingan kepada
Bapak.Pertama, kasus merek AQUA dan AQUALIVA. Mahkamah Agung dalam putusannya
(perkara No. 014 K/N/HaKI/2003) menyatakan bahwa pembuat merek Aqualiva
mempunyai iktikad tidak baik dengan mendompleng ketenaran nama Aqua.
Kedua, terkait dengan pertanyaan Bapak tentang kalimat
dan kata yang didaftarkan.Salah satu kasus yang pernah diputus
MA adalah merek CORNETTO dan CAMPINA CORNETTO (perkara No. 022 K/N/HaKI/2002).
Dalam kasus ini, MA menyatakan penggugat sebagai pemilik merek Cornetto. Dalam
pertimbangannya, MA menggunakan parameter berupa:
·
Persamaan visual
·
Persamaan jenis barang; dan
·
Persamaan konsep.
Jika pendaftar pertama merasa dirugikan oleh merek
yang mempunyai persamaan pada pokoknya, tentu ia dapat menggugat pembatalan
merek dimaksud.
Jadi
bila di tinjau dari masalah yang dibahas ada banyak sekali hal yang harus di
jadikan perimeter bagi para penggugat yang merasa dirugikan dan juga kesadaran
akan pentingnya hak cipta di sunia perdagangan. Bila kesadaran para penjiplak
sudah baik maka mereka akan berfikir lebih baik membuat nama baru dengan
keunggulan produk tersendiri untuk menyaingi daya jual suatu merk dagang yang
di jiplak.
PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.
DEFINISI
KONSUMEN
Konsumsi,
dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi
atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada
dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir.Konsumen antara
adalah distributor, agen dan pengecer.Mereka membeli barang bukan
untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang
adalah konsumen akhir.
Pengertian
Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of
Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh
barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.
Pengertian
Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga
bagian, terdiri atas:
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen antara, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen)
menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan
tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan
3. onsumen akhir, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Sedangkan
pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
Jadi, Konsumen
ialah orang yang memakai barang atau jasa guna untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhannya.Dalam ilmu ekonomi dapat dikelompokkan pada golongan besar suatu
rumah tangga yaitu golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK), dan golongan Rumah
Tangga Produksi (RTP).
B.
HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan
konsumen adalah perangkat yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak
sebagai contoh para penjual diwajibkan menunjukka tanda harga sebagai tanda pemberitahuan
kepada konsumen. Dengan kata lain, segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
o
Undang
Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
27 , dan Pasal 33.
o
Undang
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No.
3821.
o
Undang
Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Usaha Tidak Sehat.
o
Undang
Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
o
Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen.
o
Surat
Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan
pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
o
Surat
Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005
tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
Menurut Undang- undang no.8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen:
Pasal 1 butir 1,2 dan 3:
1. Perlindungan Konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan
3. Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan taua badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun buka
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama
melalui perjanjian menyelenggaraka kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
C.
TUJUAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dari
uraian diatas kami akan menjelaskan alasan kenapa begitu pentingnya hukum
perlindungan konsumen ini, seperti dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3,
disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan /
atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
D.
PRINSIP
DAN ASAS-ASAS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
a.
Prinsip-
Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
1.
Let The Buyer Beware
Ø Pelaku Usaha kedudukannya seimbang
dengan konsumen sehingga tidak perlu proteksi.
Ø Konsumen diminta untuk berhati hati
dan bertanggung jawab sendiri.
Ø Konsumen tidak mendapatkan akses informasi
karena pelaku usaha tidak terbuka.
Ø Dalam UUPK Caveat Emptor berubah
menjadi caveat venditor.
2.
The due Care Theory
Ø Pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa.
Selama berhati hati ia tidak dapat dipersalahkan.
Ø Pasal 1865 Kuhperdata secara tegas
menyatakan, barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk
meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu
peristirwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut.
Ø Kelemahan beban berat konsumen dalam
membuktikan.
3.
The Privity of Contract
Ø Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat
dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual.Pelaku
usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.
Ø Fenomena kontrak kontrak standar
yang bantak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak
berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha.
4.
Kontrak bukan Syarat
Prinsip ini tidak mungkin lagi
dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan
eksistensi suatu huungan hukum .
b.
Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
1.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual.
4. Asas keamanan
dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian
hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
E. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
a. Hak-hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari
akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan
hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari
bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
J.F
Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen, adalah sebagai berikut:
§
Hak
memperoleh keamanan (the tight to safety);
§
Hak
memilih (the right to choose);
§
Hak
mendapat informasi (the right to be informed);
§
Hak
untuk didengar (the right to be heard).
Adapun sesuai Hak
konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun
1999 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen
adalah :
ü Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
ü Hak untuk memilih barang dan/atau
jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
ü Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
ü Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
ü Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
ü Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
ü Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
ü Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
ü Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak- hak konsumen yang dipandang
sebagai jalan masuk yang tepat dalam masalah etis seputar konsumen sangat
diperlukan.
b. Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:
1.
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
F. HAK DAN KEWAJIBAN PRODUSEN TERHADAP
KONSUMEN
Produsen
ialah orang yang menghasilkan barang atau jasa untuk keperluan konsumen.Barang
atau jasa yang dihasilkan produsen disebut produksi, sedangkan yang memakai
barang dan jasa disebut konsumen.Dalam ilmu ekonomi dapat dikelompokkan pada
golongan besar suatu rumah tangga yaitu golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK),
dan golongan Rumah Tangga Produksi (RTP).
a. Hak Produsen (pelaku
usaha/wirausahawan)
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·
Hak
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
·
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
·
Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban produsen
1.
Beritikad
baik dalam kegiatan usahanya.
2.
Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
3.
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4.
Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu dan/atau jasa yang berlaku.
5.
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6.
Memberi
kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7.
Memberi
kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen.Ini berarti hak bagi konsumen
adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan
kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila
dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak
bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
c. Perbuatan yang dilarang dilakukan
oleh seorang pelaku usaha
Pelaku
usaha dilarang menawarkan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan keterangan, iklan atau promosi atas penawaran jasa
tersebut. Tidak membuat perjanjian atas pengikatan jasa tersebut dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 8).
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau
jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah secara langsung atau tidak
langsung merendahkan barang dan atau jasa lain (pasal 9).
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai (Pasal 10)
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan
atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa
lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya (pasal 13).
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
Ø Tidak melakukan penarikan hadiah
setelah batas waktu yang dijanjikan;
Ø Mengumumkan hasilnya tidak melalui
media massa;
Ø Memberikan hadiah tidak sesuai
dengan yang dijanjikan;
Ø Mengganti hadiah yang tidak setara
dengan nilai hadiah yang dijanjikan. (pasal 14)
d. Tanggung Jawab Produsen terhadap
Konsumen
Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
G. SENGKETA KONSUMEN
Sengketa
tidak lepas dari suatu konflik.Dimana ada sengketa pasti disitu ada
konflik.Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari.Entah konflik kecil
ringan bahkan konflik yang besar dan berat.Hal ini dialami oleh semua
kalangan.Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan.
Sengketa
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik, Konflik
berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok,
atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.Sedangkan menurut
Ali Achmad sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik
yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Sedangkan
pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
Pengertian
Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing
adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau
jasa untuk dikonsumsi pribadi.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan
apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen.Definisi ”sengketa konsumen”
dijumpai pada Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat
Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, dimana yang
dimaksud dengan sengketa konsumen adalah:
“sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang
menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”
Jadi, sengketa konsumen adalah sengketa
antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau
memanfaatkan jasad.
Melalui pasal 45 ayat (1) ini dapat
diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen , terdapat dua pilihan
yaitu :
o
Melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha, atau
o
Melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara
berikut :
§ Konsultasi
§ Negosiasi
§ Mediasi
§ Konsialisasi
§ Penilaian ahli
H. SANKSI-SANKSI
a. Sanksi Perdata
Ganti rugi
dalam bentuk :
Ø Pengembalian uang
Ø Penggantian barang
Ø Perawatsan keehatan, dan/atau
Ø Pemberian santunan
Ø Ganti rugi diberikan dalam tenggang
waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
b. Sanksi Administrasi
Maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25.
c. Sanksi Pidana
Ø Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1)
huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18.
Ø Penjara, 2 tahun, atau denda
Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan
17 ayat (1) huruf d dan f.
Ø Ketentuan pidana lain (di luar
Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
Ø Hukuman tambahan , antara lain :
o
Pengumuman
keputusan Hakim;
o
Pencabuttan
izin usaha;
o
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
o
Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
o
Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat.
CONTOH KASUS
ANALISIS KASUS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan
Konsumen di Bidang Paman
Contoh kasus pelanggaran UU Perlindungan konsumen di bidang
pangan.Kasus di bidang pangan ini adalah kasus yang paling mengkhawatirkan
masyarakat. Kasus tersebut adalah kasus – kasus tentang masalah penyalahgunaan
zat-zat berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan untuk
digunakan tetapi penggunaannya oleh sang pelaku usaha dalam produk pangan
melebihi batas yang telah ditentukan. Zat-zat yang berbahaya diantaranya
formalin, boraks, rhodamin – B, Metanil Yellow dan lain sebagainya. Jika
zat-zat ini masuk ke dalam tubuhkonsumen, maka akan menimbulkan efek yang
berbahaya bagi tubuh dalam jangka panjang karena zat-zat tersebut telah
terakumulasi dalam tubuh.
Demi menekan ongkos produksi, para pelaku usaha tega
mencampurkan zat-zat berbahaya ke dalam produk yang mereka jual agar produknya
bisa tahan lama.Misalnya saja produsen yang menggunakan boraks atau formalin ke
dalam produk makanan yang dijualnya agar produk tersebut lebih tahan lama.Kalau
produk mereka tahan lama, bisa dijual lagi keesokan harinya, sehingga ongkos
produksi juga bisa ditekan.
Konsumen yang telah membayar sejumlah uang untuk mendapatkan
produk yang dijual oleh pelaku usaha tersebut malah dicurangi.Konsumen tidak
mendapatkan kualitas produk yang sesuai dengan yang diinginkannya.Tetapi justru
membahayakan kesehatan mereka di kemudian hari.Kasus seperti ini jelas telah melanggar
UU Perlindungan konsumen.Di dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 4 point ke 3
disebutkan salah satu hak konsumen yaitu “hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
Kasus tersebut jelas sudah bertentangan dengan bunyi pasal
tersebut tentang hak konsumen.Hak konsumen telah diabaikan.Konsumen tidak
mendapatkan informasi yang jujur dari pelaku usaha mengenai produk yang mereka
jual.Para pelaku usaha seolah tidak jera dan tetap melakukan hal itu lagi.Bahkan
seperti tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah untuk menghadapi para
pelaku usaha yang demikian.
Dalam kasus ini tidak hanya para pelaku usaha yang
salah.Namun konsumen juga harus lebih teliti lagi dalam membeli suatu
barang.Konsumen harus lebih mengamati produk yang dibelinya.Jangan sampai
tertipu.Dalam membeli suatu barang, konsumen juga harus memperhatikan tanggal
kadaluarsa dari produk tersebut.Jangan sampai membeli produk yang telah
kadaluarsa.Namun, sang pelaku usaha juga harus selalu mengontrol produk yang
mereka jual, jangan sampai ada produk yang telah kadaluarsa tetapi masih saja
dijual. Jadi, dalam hal ini dibutuhkan peran dari kedua belah pihak.
Untuk mengatasi kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen
dalam bidang pangan tersebut sebaiknya pemerintah sebagai badan yang melakukan
pengawasan terhadap penyebaran dan pemasaran barang – barang yang telah beredar
di masyarakat luas, selalu melakukan pengawasan – pengawasan terhadap para
pelaku usaha maupun para distributor yang menyediakan barang.Selain itu,
diperlukan juga sosialisasi kepada masyarakat secara terus-menerus.Salah satu
media yang diperlukan adalah iklan layanan masyarakat yang mengajak atau
mendorong konsumen untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan, artinya konsumen
harus memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang dan ketentuannya.
Analisis Hukum
Berdasarkan kasus dan teori diatas
masih banyak pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajibannya dan masih banyak
konsumen yang merasa dirugikan akibat oknum-oknum pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab.
Jika dilihat menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, kasus pelaku usaha dibidang pangan tersebut menyalahi
ketentuan. Berikut adalah beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang dilangar oleh pelaku usaha dalam bidang pangan:
1. Pasal 4, hak konsumen adalah :
o
Ayat
1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
o
Disini
pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas
asalnya, 11 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample. Pada tahun
2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak
ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN
juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan
Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna,
pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil
yellow).
o
Ayat
3 : “Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.”
Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat
saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang
mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada
sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi
bahan makanannya.
2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha
adalah :
o
Ayat
2 : “Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.”
o
Pelaku
usaha bidang pangan tidak pernah memberitahu kondisi serta penjelasan komposisi
makanan apa yang terkandung didalamnya. Terkadang juga pelaku usaha tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa pada makanan kemasan dan kaleng.
3. Pasal 19
o
Ayat
1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
o
Ayat
2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
o
Ayat
3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.”
Hukuman
Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di Indonesia
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Analisis Etika
Bisnis tertentu merusak masyarakat,
baik dalam kaitannya dengan kesehatan, mental, maupun budaya
masyarakat.Timbulnya berbagai penyakit yang sangat dipengaruhi oleh pola
konsumsi makanan tidak bisa tidak merupakan tanggung jawab pedagang atau orang
bisnis.Demikian pula, sampai pada tingkat tertentu orang bisnis membuat
masyarakat menjadi sangat konsumtif dan bahkan sampai pada tindakan kriminal
seperti pencurian, perampokan dan korupsi hanya demi memenuhi kebutuhan atau
permintaan yang dalam banyak hal tidak begitu diperlukan.Maka, tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa bisnis ikut bertanggung jawab (secara etika) atas baik
buruknya masyarakat modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar